Tohir78, Saat pendapatan tidak sebanding dengan pengeluaran, dan kebutuhan hidup terasa semakin cepat datangnya dibandingkan dengan laju gaji, maka kita sedang menghadapi sebuah dilema ekonomi yang nyata: uang makin sulit dicari, tapi makin mudah dihabiskan. Peribahasa ini bukan sekadar keluhan kelas pekerja urban, melainkan cermin dari dinamika ekonomi masyarakat Indonesia saat ini---terutama di kalangan generasi muda dan kelas menengah produktif.
Fenomena ini berkembang dalam ruang ekonomi yang penuh paradoks. Di satu sisi, kita hidup di era digital yang serba praktis, terbuka dengan berbagai peluang penghasilan baru. Namun di sisi lain, jebakan konsumsi instan, tekanan sosial dari media digital, dan beban biaya hidup yang terus menanjak justru membuat keuangan pribadi semakin rentan dan rapuh.
Mencari Uang: Semakin Banyak Tantangan, Semakin Sedikit Kepastian
Dalam beberapa tahun terakhir, dunia kerja berubah secara radikal. Pandemi menjadi katalis, mempercepat transformasi digital sekaligus menciptakan disrupsi struktural. Ribuan perusahaan mengubah model bisnis mereka, menggantikan tenaga manusia dengan teknologi, mengandalkan efisiensi, dan memangkas biaya operasional, termasuk tenaga kerja.
For new graduates, the competition in job hunting is not just about having a degree, but also about additional skills, connections, and adaptive abilities. Even for those who are already employed, the risk of termination of employment (PHK), outsourcing, and stagnant wages are real threats.
Mereka yang beralih ke gig economy---seperti menjadi pekerja lepas, driver online, content creator, atau reseller daring---juga menghadapi tantangan besar. Meski menawarkan fleksibilitas, jenis pekerjaan ini minim perlindungan sosial dan seringkali bersifat sementara. Akibatnya? Uang memang bisa didapat, tapi tidak menentu, dan sering kali tidak cukup untuk menopang kebutuhan hidup jangka panjang.
Perilaku Konsumtif: Mewah di Luar, Rapuh di Dalam
Di sisi lain dari dilema ini adalah realitas konsumsi yang semakin tak terkendali. Dunia digital membentuk budaya belanja impulsif. Diskon daring, layanan paylater, cashback, hingga tren unboxing membuat belanja terasa bukan lagi kebutuhan, tapi gaya hidup dan eksistensi. Perilaku ini diperkuat oleh algoritma media sosial yang terus menyuguhkan "kehidupan ideal" orang lain---liburan ke luar negeri, mobil baru, gawai mahal, dan brunch di kafe estetik.
Tekanan untuk mengikuti tren hidup "standar media sosial" memunculkan fenomena FOMO (fear of missing out). Tidak sedikit generasi muda merasa perlu tampil keren di Instagram meski harus mencicil lifestyle dengan utang konsumtif. Ironisnya, banyak dari mereka yang sebenarnya tidak mampu, namun memaksakan diri agar tidak tertinggal secara sosial.
Di sinilah uang menjadi mudah habis, bukan untuk kebutuhan primer, tetapi demi memenuhi ekspektasi lingkungan. Akibatnya, dompet bolong, tagihan menumpuk, dan kesehatan mental pun terganggu.
Gaya Hidup Paylater: Ketika Masa Depan Dibayar Hari Ini
Salah satu faktor utama dari mudahnya uang menghilang adalah normalisasi sistem paylater. Layanan beli-sekarang-bayar-nanti yang semula ditujukan untuk kemudahan kini telah berubah menjadi jebakan keuangan massal. Generasi muda dengan penghasilan terbatas tergoda membeli barang mahal secara cicilan, tanpa memperhitungkan kemampuan bayar jangka panjang.
Menurut data OJK, pertumbuhan pengguna layanan paylater melonjak tajam dalam dua tahun terakhir, terutama di kalangan usia 20--35 tahun. Namun, bersamaan dengan itu, risiko kredit macet juga meningkat. Banyak yang lupa bahwa setiap kemudahan finansial punya biaya tersembunyi: bunga, denda, dan potensi gagal bayar.
Jika tren ini tidak diiringi dengan edukasi literasi keuangan yang kuat, maka kita hanya sedang menciptakan generasi pekerja dengan ilusi kesejahteraan---tampak mapan di luar, tapi terlilit utang di dalam.
Krisis Simpanan dan Kekurangan Investasi Masa Depan
Konsekuensi dari gaya hidup konsumtif ini terlihat jelas pada statistik keuangan pribadi. Sebagian besar generasi muda tidak memiliki dana darurat. Lebih dari 60 persen tidak menyisihkan penghasilan untuk tabungan atau investasi. Bahkan, banyak dari mereka yang tidak punya asuransi kesehatan atau rencana pensiun.
Mengapa ini bisa terjadi? Jawabannya kompleks. Selain penghasilan yang kecil dan tidak stabil, ada juga minimnya kesadaran akan pentingnya perencanaan keuangan jangka panjang. Gaya hidup "you only live once" (YOLO) menjadi dalih untuk mengabaikan tanggung jawab finansial masa depan.
Ternyata, krisis ekonomi tidak pernah memberikan peringatan. Biaya hidup dapat meningkat kapan saja. Penyakit bisa menyerang dengan tiba-tiba. Dan usia pensiun akan tiba lebih cepat dari yang kita perkirakan.
Solusi Bersama: Dari Literasi hingga Regulasi
Menyelesaikan dilema ekonomi ini bukan tanggung jawab individu semata. Negara dan masyarakat perlu hadir bersama dalam solusi kolektif.
Pemerintah harus memperluas akses terhadap lapangan kerja berkualitas dan memberikan insentif bagi sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja muda. Selain itu, penguatan regulasi fintech, terutama paylater dan pinjaman online, sangat mendesak untuk mencegah generasi muda terjerumus dalam jerat utang.
Pendidikan keuangan harus dimasukkan dalam kurikulum sekolah menengah dan perguruan tinggi. Literasi keuangan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan dasar di tengah kompleksitas ekonomi digital saat ini.
Media dan influencer juga memiliki peran. Alih-alih mempromosikan konsumsi berlebihan, mereka bisa membantu membangun narasi tentang gaya hidup yang hemat, sehat secara finansial, dan berkelanjutan.
Individual perlu mulai dari hal sederhana: mencatat pengeluaran, membuat anggaran, menabung secara rutin, dan belajar menunda kepuasan. Sebab kunci kesejahteraan bukan pada banyaknya uang yang masuk, tapi pada bagaimana uang itu dikelola.
Mengatur Ulang Hubungan Kita dengan Uang
Uang bukan musuh, tapi juga bukan sahabat setia jika tidak dipahami dengan benar. Di tengah gempuran ekonomi global dan godaan konsumsi digital, kita perlu menata ulang cara kita memandang dan memperlakukan uang. Saat uang makin sulit dicari, maka kewaspadaan dalam membelanjakannya harus menjadi prioritas.
Generasi saat ini memiliki kesempatan untuk mengubah arah. Dari generasi yang boros menjadi generasi yang cerdas secara finansial. Dari generasi yang terjebak utang menjadi generasi yang mempersiapkan masa depan. Dan dari generasi yang hanya hidup untuk hari ini, menjadi generasi yang siap menghadapi hari esok.
Komentar
Posting Komentar