
Presiden Prabowo Subianto Telah diputuskan untuk mengakhiri perdebatan tentang sengketa kepemilikan empat pulau antara Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek akhirnya dimasukkan ke dalam wilayah administrasi Provinsi Aceh.
Keputusan tersebut meredakan ketegangan yang terjadi antara Pemprov Aceh dan Pemerintah Provinsi Sumut. Sebelumnya, Gubernur Aceh Muzakkir Manaf dan Gubernur Sumut Bobby Nasution sempat bertemu di Banda Aceh untuk membicarakan pengelolaan bersama keempat pulau tersebut.
Perebutan kepemilikan terhadap empat pulau tersebut sebenarnya telah terjadi sejak era pemerintahan Presiden RI pertama Sukarno. Masalah itu diselesaikan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara, untuk memastikan wilayah administrasi empat pulau tersebut.
Pada tahun 1992, kepemilikan keempat pulau tersebut kembali disepakati sebagai milik Aceh. Hal ini berdasarkan kesepakatan antara Gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hassan, dan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar, yang melihat titik batas berpedoman pada Peta Topografi TNI Angkatan Darat Tahun 1978 dan Kesepakatan Bersama Tahun 1988.
"Perjanjian tersebut disaksikan langsung oleh Menteri Dalam Negeri saat itu, Rudini. Namun, dokumen tersebut tidak ada di Kemendagri (Kementerian Dalam Negeri)," kata Anggota Komisi III DPR RI dan Anggota Tim Perumus Perjanjian Helsinki RI-GAM Mohammad Nasir kepada Tohir78.co.id .
Kemendagri pun tidak tinggal diam. Kementerian yang dipimpin Tito Karnavian ini terus mencari dokumen-dokumen kesepakatan terkait kepemilikan empat pulau tersebut. Akhirnya, Mendagri Tito Karnavian menemukan dokumen tersebut pada tanggal 17 Juni 2025.
Mendagri Tito mengatakan dokumen asli berisi kesepakatan Gubernur Aceh dan Gubernur Sumatera Utara pada tahun 1992 ditemukan di Gedung Arsip Kemendagri, Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Dokumen ini berisi penegasan bahwa Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Pulau Panjang termasuk dalam wilayah Aceh.
Untuk mengetahui kronologi tentang polemik empat pulau ini, Editor Tohir78.co.id Saugi Riyandi dan Reporter Tohir78.co.id Ade Rosman bertemu dengan Legislator asal Aceh Mohammad Nasir Djamil di ruang kerjanya, Gedung DPR RI. Nasir merupakan salah satu saksi sejarah polemik ini.
Berikut petikan wawancaranya:
Pak Nasir, polemik terkait status kepemilikan keempat pulau yang diperebutkan oleh Provinsi Aceh dan Sumatera Utara ini sebenarnya bagaimana kronologinya?
Polemik terjadi karena keputusan Kemendagri yang mengalihkan keempat pulau itu ke wilayah Provinsi Sumut. Jadi, Kemendagri itu punya otoritas tetapi minus sensitivitas. Dia tidak sensitif dengan regulasi yang ada, dia tidak sensitif dengan situasi dan kondisi Aceh itu sendiri.
Pertama, regulasi. Aceh memiliki UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Kawasan Khusus. Undang-undang ini merupakan hasil kesepakatan perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintahan Indonesia, yang dimulai dengan Pernyataan Kesepakatan (Perjanjian) Helsinki tahun 2005.
Jadi, pada tahun 2005 ada perjanjian damai. Salah satu poin dari MoU Helsinki adalah pembuatan UU baru tentang Aceh. Sebelumnya, Aceh juga memiliki UU Nomor 18 Tahun 2001. Namun, karena GAM saat itu tidak terlibat dalam pembentukan undang-undang ini, mereka menolak undang-undang ini dan tetap berjuang dengan senjata mereka.
Saat gencatan senjata pada tahun 2005, kemudian dalam poin MoU tersebut ada perubahan undang-undang terkait Aceh, mereka pun ikut terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pembentukan Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Kawasan Khusus.
Jadi, di dalam pasal 8 UU Nomor 11 tahun 2006 itu disebutkan bahwa segala keputusan yang dibuat oleh pemerintah pusat yang terkait dengan Aceh yang sifatnya administratif, harus dikonsultasikan kepada gubernur Aceh.
If referring to specific laws because they have a higher standing than the laws below them, the Ministry of Home Affairs should communicate and consult, but this was not done. That is what I mean by authority minus sensitivity.
Selanjutnya, pemerintah pusat juga kurang peka bahwa Aceh adalah daerah yang pernah mengalami gonjang-ganjing dengan gerakan bersenjata. Kemudian, situasi damai ini tentu harus dijaga. Oleh karena itu, keputusan Kemendagri tersebut mengganggu suasana damai ini. Istilahnya, pemerintah membangunkan singa tidur.
Mungkin karena pemerintah pusat merasa lebih tinggi daripada pemerintah daerah. Lalu, mereka (Kemendagri) tidak memiliki kepekaan tentang hal tersebut. Padahal, jika mereka menjalankan sesuai dengan pasal 8 (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006) tadi, mungkin tidak terjadi hal seperti ini. Jadi, mereka sudah tidak menganggapnya sebagai undang-undang khusus lagi. Di situlah akar masalah sebenarnya.
Sengketa mengenai empat pulau ini telah berlangsung lama, sejak masa Orde Baru pada tahun 1992. Terdapat kesepakatan bersama antara Raja Inal Siregar selaku Gubernur Sumatera Utara dengan Ibrahim Hasan selaku Gubernur Aceh saat itu. Kesepakatan bersama tersebut memang menetapkan bahwa empat pulau tersebut merupakan bagian dari wilayah Aceh. Kesepakatan ini juga disaksikan oleh Menteri Dalam Negeri Rudini. Sayangnya, dokumen ini tidak ada di Kemendagri.
Ini juga satu hal yang harus kita ingatkan. Seharusnya, Kemendagri memiliki dokumentasi atau arsip soal kesepakatan bersama tadi. Kalau memang tidak ada di Kemendagri, bisa cek juga di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Mereka tidak menemukan arsip itu. Kalau misalnya arsip itu ada di Kemendagri, tentu hal ini tidak terjadi.
Kelemahan kearsipan Kemendagri ini menjadi catatan ke depan agar hal serupa tidak terulang lagi. Karena apapun ceritanya, aspek historis enggak bisa dilupakan disamping aspek regulasi. Kita banyak juga pulau-pulau, misalnya Kepulauan Seribu, itu kan dekat dengan Tangerang. Tapi kenapa masuk Jakarta? Ada historisnya.
Lalu, ada juga Pulau Banda di Maluku. Ada pulau yang dia itu jauh dari Maluku, lebih dekat dengan Kupang tapi masuk ke Maluku. Secara historis pulau itu punya sejarah dengan Maluku. Keempat pulau itu terutama historisnya dengan (Aceh) Singkil. Bahkan, dalam peta Belanda, pulau-pulau itu masuk dalam wilayah Aceh.
Status kepemilikan keempat pulau tersebut berada di wilayah Aceh berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Provinsi Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno. Namun, Mendagri Tito Karnavian kemudian menerbitkan Kepmen Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang mengalihkannya ke Provinsi Sumatera Utara. Dari kedua regulasi ini jelas kedudukan paling tinggi berada di UU. Apakah seharusnya Kepmendagri itu dibatalkan?
Secara seharusnya, jika kita melihat hierarki peraturan perundang-undang, kan begitu. Walaupun memang pengaturan soal batas-batas wilayah itu keputusannya lewat mendagri. Mungkin undang-undang itu mengamanahkan, memberikan otoritas, memberikan semacam mandatori kepada Kemendagri untuk mengeluarkan keputusan ini lewat Keputusan Menteri.
Namun karena ada UU yang lebih spesialis, ada UU khusus, maka dia harus mendahulukan UU khusus itu. Apakah sudah dilaksanakan konsultasi tadi itu? Seharusnya kalau seperti saya katakan tadi, kalau dia lakukan konsultasi, tentu tidak seperti ini.
Diskusi tentang status empat pulau tersebut telah dimulai sejak tahun 2008. Namun, Pemprov Sumut pernah mengajukan pada tahun 2009 bahwa keempat pulau ini termasuk dalam wilayah Sumut. Apa yang mendorong Pemprov Sumut sangat menginginkan empat pulau ini, apakah memang ada sumber daya minyak dan gas yang besar atau Anda menilai ada unsur politis di sini?
Pemprov Aceh memang mengajukan 260 pulau pada tahun 2009. Empat pulau ini memang tidak termasuk dalam bagian pulau yang diajukan itu karena ada kesalahan koordinat. Biasa lah, ini kan pekerjanya manusia. Mungkin silap mereka, keliru mereka dalam memberikan koordinat, sehingga keempat pulau ini tidak masuk dari 260 nama pulau yang diserahkan itu.
Nah, kesalahan ini diperbaiki tapi hasil perbaikannya tidak pernah diakui. Meskipun sudah mengirim surat ke Wakil Presiden (Wapres Ma'ruf Amin), ke Mendagri Tito Karnavian, tapi tidak pernah digubris. Tetap saja empat pulau itu masuk dalam wilayah Sumatera Utara. Itulah yang kami sesalkan. Mengapa tidak dilakukan konsultasi dengan Gubernur Aceh sesuai dengan pasal 8 Undang-Undang Pemerintahan Aceh tersebut.
Memang sulit juga kalau dibilang tidak ada unsur politis. Bahkan, ada unsur ekonomis juga. Karena tadi itu, sensitivitas atau kepekaan itu tidak ada. Jadi, kesalahan tadi sudah diajukan, sudah diperbaiki, kemudian tidak digubris.
If it proceeds naturally, it will surely be fixed quickly. However, if there are specific orders, it could be said to become political, and eventually those orders will be ignored. Therefore, their mistake is due to insensitivity, not because of natural conditions. There are circumstances behind this, there is a story behind the news.
Anda pernah menjadi Tim Pemantau DPR RI terhadap implementasi MoU Helsinki antara Pemerintah RI-Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mengingat sejarahnya, pada waktu itu keempat pulau ini memang masuk wilayah Aceh?
Oh iya, tahun 1992 sudah disepakati. Bahkan, tahun selanjutnya itu ada pembangunan prasasti dan pengukuran yang dilakukan di situ. Jadi kegiatan-kegiatan itu sudah berlangsung lama. Kalau kita melihat aspek historisnya, yuridisnya, administrasinya, kemudian pengelolaan pulaunya, toponiminya, itu memang tidak ada kata lain bahwa itu milik Aceh. Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan, dan Pulau Panjang.
Apakah DPR sudah pernah memberikan masukan untuk mengakhiri polemik mengenai status kepemilikan keempat pulau ini?
DPR memberikan masukan ke jalur-jalur yang bisa kami masuki, kepada Pemprov Aceh, DPRD Aceh, dan pihak-pihak terkait, supaya mendengar aspirasi ini. Kami khawatir hal ini akan menyebabkan ketegangan. Ketegangan antara daerah dengan Jakarta (pusat) atau pusat dengan daerah. Bukan hanya Aceh dengan Jakarta, tapi juga Aceh dengan Sumatera Utara.
Maka dari itu, kami meminta agar keputusan (Mendagri) tersebut dibatalkan. Alasannya, keputusan itu melanggar kesepakatan bersama yang telah dibuat pada tahun 1992. Keputusan Kemendagri tersebut tidak tepat dari segi sejarah, karena melupakan sejarahnya sendiri. Itulah yang menjadi penyesalan kami.
Presiden Prabowo Subianto juga memberikan sinyal akan membuat peraturan baru terkait polemik empat pulau tersebut. Menurut Anda, peraturan apa yang akan dikeluarkan Presiden Prabowo? Apakah peraturan ini untuk merevisi UU tahun 1956 tadi?
Begini, kalau ada pembentukan daerah baru kan ada undang-undangnya. Undang-Undang pembentukan daerah baru itu bisa UU tentang kabupaten. Nah, memang pasal-pasal yang mengatur perbatasan itu dibuat secara umum. Misalnya, di Selatan berbatasan dengan ini, di Utara berbatasan dengan ini, di Timur berbatasan dengan ini, dan sebagainya. Jadi, (ketentuannya) masih umum, tidak detail.
Namun, di negeri ini masalah perbatasan masih menjadi pekerjaan rumah yang besar. Jangankan laut, darat saja masih belum terselesaikan. Nah, untuk Aceh Singkil dengan Tapanuli Tengah, batas daratnya sudah disepakati, yang belum diselesaikan adalah batas laut. Jadi, kehadiran Badan Nasional Perbatasan yang bertanggung jawab kepada Kementerian Dalam Negeri.
Ini yang harus diselesaikan, karena kaitannya dengan pembentukan undang-undang daerah baru, misalnya batas-batas wilayah itu harus benar-benar detail, tidak bisa secara umum. Kalau tidak, nanti akan jadi bom waktu. Apalagi kalau misalnya ada potensi ekonomi di situ.
Pertemuan di Istana Negara terkait empat pulau itu merupakan bagian dari executive review . Saya yakin keempat pulau ini akan tetap menjadi bagian dari Aceh.
Jika memang ada sumber daya migas yang besar dari keempat pulau ini, mengapa tidak dikelola bersama saja antara Provinsi Aceh dan Provinsi Sumut?
Saya pikir tidak bisa juga pengelolaan bersama, itu sulit sebenarnya. Tidak mudah seperti yang dituturkan oleh banyak orang. Jadi, ini kan Terkait dengan bagi hasil berbagai macam. Pulau-pulau itu juga bagian dari Indonesia. Kalau itu kemudian dipertahankan tetap di Aceh, itu juga milik Indonesia.
Meskipun ada potensi ekonomi, uangnya akan tetap mengalir ke pemerintah pusat. Jadi, itu tetap menjadi bagian dari republik ini. Soal kerja sama, kita serahkan kepada Pemerintah Provinsi Aceh.
Pemerintah Aceh memiliki Badan Pengelolaan Migas Aceh (BPMA). BPMA inilah yang bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya minyak dan gas yang ada di wilayahnya. Jika ada potensi ekonomi terutama sumber daya minyak dan gas di pulau tersebut, kita belum mengetahuinya karena SKK Migas yang memiliki otoritas untuk menyampaikan informasi tersebut.
Komentar
Posting Komentar