8 Kebiasaan Orang 50-an yang Sering Bikin Salah Paham sama Generasi Muda

Tohir78 - Istilah seperti “generasi sekarang,” “anak muda zaman kini,” atau “oke, boomer” memang mudah dipakai. Tapi kenyataannya, sebagian besar gesekan antargenerasi bukan disebabkan oleh niat buruk melainkan kesalahpahaman.

Setiap kali tim lintas usia berkumpul dalam satu ruangan, biasanya bukan perbedaan nilai yang jadi masalah utama, melainkan prasangka lama yang belum diperbarui.

Berikut sembilan titik buta yang sering membuat generasi lebih tua salah paham terhadap generasi muda, seperti dilansir dari VegOut.

Saat membaca, cobalah bertanya: Apakah ada asumsi lama yang tanpa sadar masih kamu pegang?

1. “Mereka terpaku pada ponsel dan kehilangan kehidupan nyata.”

Ya, Gen Z memang menggulir layar lebih sering dibanding generasi mana pun dalam sejarah.

Tapi bagi mereka, ponsel bukan tembok yang mengurung melainkan jendela ke dunia: tempat persahabatan terjalin, aktivisme tumbuh, dan pekerjaan dijalankan.

Dari luar, aktivitas itu terlihat pasif. Tapi di baliknya ada kolaborasi, kreativitas, dan hubungan sosial real-time yang tak selalu dimengerti generasi sebelumnya. Ponsel bukan sekadar hiburan, melainkan infrastruktur hidup.

2. “Mereka sering gonta-ganti kerja, artinya tak setia.”

Dulu, bertahan 10 tahun di satu perusahaan adalah bukti loyalitas dan cara meraih pensiun. Sekarang? Lanskap kerjanya berubah total.

Anak muda berpindah kerja bukan karena bosan, tapi karena ingin berkembang, memperluas skill, dan mengejar gaji yang selaras dengan kenyataan ekonomi.

Seperti yang pernah dikatakan psikolog organisasi Adam Grant, lonjakan resign massal bukan hanya soal lokasi kerja, tapi pencarian makna dan relevansi pekerjaan. Bagi generasi sekarang, loncat karier bukan pengkhianatan melainkan adaptasi.

3. “Mereka minta promosi tapi belum ‘membayar iuran.’”

Yang tampak seperti sikap manja sering kali berakar pada data. Generasi muda tahu berapa gaji rekan sejawat karena transparansi digital—Glassdoor, forum karier, hingga TikTok membuka diskusi yang dulu tabu.

Mereka tak menuntut semata-mata karena ingin melainkan menuntut karena tahu. Jika kamu tahu kolega dengan tugas sama digaji 20% lebih tinggi, bukankah kamu juga akan bertanya?

4. “Mereka takut konflik langsung.”

Gen Z dan Milenial tumbuh dengan adu argumen di kolom komentar sejak sebelum mereka punya SIM. Mereka bukan menghindari konfrontasi, mereka hanya terbiasa dengan format debat yang tak sinkron: baca, pikirkan, balas.

Maka jika mereka lebih suka berdiskusi lewat dokumen tertulis atau chat panjang, bukan berarti tak berani—hanya berbeda cara. Memberi ruang diskusi yang terstruktur bisa menghasilkan dialog yang lebih jujur dibanding debat mendadak di lorong kantor.

5. “Mereka terlalu sering curhat soal kesehatan mental demi perhatian.”

Dulu, orang diminta menyimpan masalah pribadi di rumah. Sekarang, generasi muda memperlakukan kesehatan mental seperti menyikat gigi: rutin, preventif, dan wajar dibicarakan.

Terapi bukan lagi rahasia memalukan itu jadi bagian dari perawatan diri. Saat mereka bilang sedang burnout atau baru dari sesi terapi, coba tanggapi seperti saat mendengar mereka habis vaksin flu. Rasa ingin tahu dan empati jauh lebih membangun daripada sinisme.

6. “Kerja jarak jauh bikin mereka malas.”

Bekerja dari rumah tak berarti bekerja dari kasur. Data menunjukkan bahwa banyak pekerja remote justru lebih produktif dibanding era kantor konvensional.

Yang dicari bukan kemalasan, tapi fleksibilitas—kemampuan menyesuaikan jam kerja dengan ritme hidup.

Mereka ingin bisa olahraga di pagi hari dan tetap menyelesaikan proyek malamnya. Jika komitmen diukur dari absensi fisik, bukan hasil, banyak talenta hebat yang justru merasa terkekang.

7. “Mereka tak bisa beli rumah karena kebanyakan beli latte.”

Dulu, harga rumah setara tiga kali gaji tahunan. Sekarang? Bisa delapan kali lipat, itu pun jika dapat cicilan.

Harga kopi bukan penyebabnya. Justru masalahnya ada di utang pendidikan, stagnasi upah, dan kelangkaan hunian terjangkau.

Mereka bukan tidak mau menabung, mereka tahu matematika. Dan jika rumah semakin tak terjangkau, mereka memilih menginvestasikan uang pada pengalaman yang masih bisa mereka nikmati.

8. “Video pendek bukti mereka tak bisa fokus lama.”

Budaya scrolling memang cepat, tapi itu bukan berarti generasi muda tak bisa menyelami hal-hal mendalam.

Mereka justru menonton podcast tiga jam atau video esai sejarah panjang. Bedanya: mereka memilih kapan dan bagaimana mendalaminya.

Formatnya berubah, tapi kapasitas untuk fokus tetap ada. Yang terjadi bukan penyusutan perhatian melainkan evolusinya.

Banyak miskomunikasi antargenerasi bukan karena nilai-nilai yang bertabrakan, tapi karena asumsi yang belum diperbarui.

Alih-alih mengeluh soal “zaman sekarang,” mungkin sudah saatnya bertanya: Apa yang belum aku pahami tentang dunia yang mereka hadapi?

Karena pada akhirnya, setiap generasi pernah dicap aneh oleh generasi sebelumnya sampai akhirnya merekalah yang jadi mayoritas di ruang rapat.

Komentar