8 Pola Bahasa Sehari-hari yang Sering Digunakan oleh Orang dengan Tingkat Kecerdasan di Bawah Rata-Rata, Menurut Pengamatan Linguistik Modern

tohir78 Pernahkah Anda mendengarkan seseorang berbicara dan merasa ada sesuatu yang tidak wajar? Mungkin mereka terlalu sering mengucapkan "umm", atau mengulang hal yang sama berkali-kali dalam waktu singkat. Mungkin juga mereka tidak bisa memahami sarkasme atau bingung saat diajak berbicara tentang topik abstrak seperti makna hidup atau teori ekonomi dasar.
Dalam dunia komunikasi modern, terutama di era digital yang mengutamakan kecepatan, ketepatan, dan kejelasan, bahasa yang kita gunakan bukan hanya alat penyampaian pesan—tetapi juga cerminan cara kita berpikir.
Dilaporkan dari halaman Geediting, artikel ini secara mendalam membahas delapan pola komunikasi yang sering ditemukan pada individu dengan tingkat kecerdasan di bawah rata-rata. Penting dicatat bahwa ini bukan vonis mutlak, tetapi sebuah panduan reflektif yang dapat membantu kita mengenali potensi tersembunyi dari setiap percakapan.
1. Ketergantungan Berlebihan pada Kata-Kata Pengisi seperti "Umm", "Kayak", dan "Tahu Gak?"
Bahasa alami manusia mengandung banyak kata pengisi. Tapi ketika kata pengisi digunakan secara berlebihan, itu sering kali menunjukkan ketidaksiapan kognitif untuk merumuskan ide secara cepat dan efektif.
Orang dengan kemampuan intelektual terbatas cenderung mengandalkan frasa seperti:
“Umm… jadi seperti…”
Tahu nggak sih?
Itu yang ini...
Ini bukan sekadar kebiasaan buruk. Dalam dunia linguistik, ini disebut sebagai strategi kompensasi verbal, yaitu upaya otak untuk mengulur waktu saat pikiran kesulitan menemukan kata yang tepat.
Dalam bidang profesional seperti jurnalisme, penulisan akademik, dan penyuntingan, penggunaan kata pengisi menjadi indikator kemampuan berpikir dan menyusun ide secara terstruktur. Bagi pembicara yang kompeten, kata pengisi digunakan secara sadar untuk efek dramatis atau jeda retoris—namun tidak berlebihan.
Tips Meningkatkan:
Latih diri untuk berpikir sebelum berbicara.
Gunakan kalimat pendek dan langsung ke inti masalah.
Baca lebih banyak agar pilihan kosakata semakin beragam.
2. Mengulang Ucapan atau Ide yang Sama Berulang-Kali Tanpa Alasan yang Jelas
Pengulangan memang terkadang diperlukan untuk penekanan. Namun, ketika seseorang terus mengulang gagasan yang sama dalam waktu singkat, itu bisa menjadi tanda bahwa mereka kesulitan mengekspresikan pikiran secara efektif sejak awal.
Ini menunjukkan bahwa individu tersebut tidak yakin apakah ia sudah menyampaikan pesan dengan jelas, atau memang tidak memiliki kemampuan menyusun kalimat dengan struktur logis yang kuat.
Contoh umum:
Ya intinya saya tidak suka begitu, ya karena saya tidak suka saja, mengerti kan? Maksudnya tidak suka begitu lho.
Pengulangan yang tidak jelas bisa menunjukkan adanya gangguan dalam pemrosesan informasi verbal.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Jawab dengan pertanyaan terbuka untuk membantu mereka fokus.
Gunakan peribahasa: "Jadi maksudmu, A ya?"
3. Kosakata yang Sangat Terbatas dan Fokus pada Kata-Kata Umum Saja
Kosakata mencerminkan kedalaman pengetahuan dan pengalaman seseorang. Orang dengan kecerdasan tinggi biasanya memiliki cara yang lebih beragam dan presisi dalam menyampaikan ide, emosi, dan pendapat.
Sebaliknya, orang dengan kecerdasan di bawah rata-rata cenderung menggunakan kosakata yang terbatas, berulang, dan bersifat sangat umum. Mereka juga jarang menggunakan kata sifat atau kata keterangan secara tepat.
Contoh:
Saya tidak suka itu.
Kenapa?
Tidak enak saja.
Seseorang dengan kosakata yang lebih luas mungkin akan berkata:
Saya kurang nyaman dengan ide tersebut karena terasa memaksa dan tidak mempertimbangkan sudut pandang saya.
Cara Melatih Kosakata:
Luangkan waktu 15 menit sehari untuk membaca artikel atau buku.
Gunakan aplikasi seperti Merriam-Webster Word of the Day.
Coba menuliskan satu paragraf deskripsi tentang hal biasa, tapi dengan gaya berbeda setiap hari.
4. Ketidakmampuan Memahami Sarkasme dan Humor yang Rumit
Sarkasme adalah bentuk komunikasi yang sangat kompleks. Ia memerlukan pemahaman terhadap konteks, nada suara, ekspresi wajah, dan pengetahuan budaya. Ketidakmampuan memahami sarkasme sering dikaitkan dengan kekurangan dalam pemrosesan sosial dan inferensi makna tersirat.
Contoh:
A: "Wah kamu datang tepat waktu banget ya." (sambil melihat jam yang sudah terlambat 45 menit)
B: "Ya dong, jadi saya selalu tepat waktu!" (tanpa menyadari bahwa itu adalah sindiran)
Orang yang gagal memahami makna seperti ini cenderung mengalami kesulitan dalam hubungan sosial karena tidak mampu membedakan antara lelucon, ejekan, atau kritik tersembunyi.
Mengasah Kemampuan Ini:
Tonton film komedi yang berbasis dialog, seperti "The Office" atau "Brooklyn Nine-Nine".
Membicarakan dengan teman tentang makna tersembunyi dari adegan dalam cerita.
5. Kesulitan Menyerap dan Memahami Konsep Abstrak
Konsep seperti "kesetaraan", "keadilan sosial", atau "nilai moral" adalah abstraksi yang membutuhkan kemampuan kognitif tinggi. Orang dengan kecerdasan rendah cenderung lebih nyaman dengan hal-hal yang konkret, visual, dan langsung.
Ketika diajak berbicara tentang sesuatu yang memerlukan analogi atau metafora, mereka akan bingung dan mencoba mengembalikannya ke contoh nyata yang sederhana.
Misalnya:
Anda berkata: "Bayangkan waktu sebagai sungai."
Mereka menjawab: "Maksudnya jam?"
Padahal, yang dimaksud adalah analogi bahwa waktu mengalir dan tidak bisa diulang.
Tingkatkan Kemampuan Abstraksi dengan:
Membaca fabel dan mencoba memahami pesan moral di baliknya.
Menulis jurnal pikiran harian untuk merefleksikan emosi dan nilai.
6. Keyakinan Berlebihan Tanpa Dasar pada Pengetahuan Mereka Sendiri (Efek Dunning-Kruger)
Efek Dunning-Kruger adalah fenomena psikologis di mana individu dengan kompetensi rendah melebih-lebihkan kemampuan mereka. Ini merupakan bentuk "ketidaktahuan yang tidak disadari".
Mereka cenderung berbicara dengan sangat percaya diri, meskipun pendapat mereka lemah, tidak berdasar, atau bahkan salah.
Contoh:
Saya yakin 100% bumi itu datar. Semua ilmuwan itu dibayar untuk berbohong.
Ini bukan sekadar sikap anti-sains, tetapi kegagalan untuk mengenali keterbatasan pengetahuan diri sendiri.
Solusinya?
Dorong pendekatan berpikir berbasis bukti (evidence-based thinking).
Ajukan pertanyaan: "Apa dasar pemikiranmu?"
7. Rendahnya Rasa Ingin Tahu terhadap Dunia Sekitar
Orang yang cerdas biasanya ingin tahu. Mereka tidak puas dengan jawaban singkat, dan cenderung bertanya "mengapa?" atau "bagaimana caranya?". Sebaliknya, individu yang kecerdasannya di bawah rata-rata sering menunjukkan sikap pasif terhadap informasi baru.
Mereka cenderung menerima sesuatu sebagaimana adanya tanpa bertanya lebih jauh.
Contoh:
Anda menjelaskan: "Jika kamu menabung di bank syariah, ada sistem bagi hasil."
Mereka menjawab: "Oh ya? Ya sudahlah."
Tanpa melakukan upaya bertanya lebih lanjut seperti "apa perbedaannya dengan bunga?" atau "bagaimana sistemnya bekerja?"
Latih Rasa Ingin Tahu dengan:
Biasakan menulis tiga pertanyaan setiap selesai membaca sesuatu.
Menonton dokumenter dan mencatat hal-hal yang membuat penasaran.
8. Ketidakmampuan Berpikir Kritis dan Mengambil Keputusan Berdasarkan Analisis Logis
Berpikir kritis adalah pilar dari kecerdasan praktis. Ini melibatkan kemampuan untuk mengevaluasi informasi, membandingkan argumen, dan membuat kesimpulan logis. Orang dengan kemampuan ini tidak langsung percaya pada berita palsu, teori konspirasi, atau informasi yang belum diverifikasi.
Sebaliknya, individu dengan kecerdasan rendah cenderung menerima informasi secara mentah-mentah atau mengikuti arus tanpa refleksi.
Contoh:
Katanya kalau makan nanas bersama susu bisa mati.
Wah benar-benar? Berarti sangat berbahaya ya, jangan pernah mencoba.
Padahal informasi seperti ini bisa dibantah secara ilmiah hanya dengan sedikit riset.
Cara Melatihnya:
Coba analisis artikel opini dari dua sisi yang berbeda.
Gunakan metode 5W+1H (Apa, Mengapa, Siapa, Kapan, Di mana, Bagaimana) sebelum menyimpulkan sesuatu.
Delapan pola ini bukan vonis, tetapi petunjuk. Bukan untuk menghakimi, tetapi untuk membantu kita menjadi pengamat komunikasi yang lebih bijak dan manusiawi.
Kecerdasan bukanlah sesuatu yang statis. Banyak orang dengan kecerdasan rata-rata berhasil mengembangkan dirinya menjadi luar biasa melalui kebiasaan positif: membaca, berdiskusi, berpikir kritis, dan belajar sepanjang hayat.
Sebaliknya, seseorang dengan IQ tinggi bisa saja tampak biasa-biasa saja jika malas berlatih, pasif, dan tidak reflektif.
Jadi, alih-alih menggunakan itu untuk menilai orang lain, gunakan delapan indikator ini untuk mengevaluasi diri sendiri. Apakah kita menggunakan bahasa sebagai alat pemahaman dan koneksi? Atau hanya sekadar mengisi ruang kosong dalam percakapan?
Setiap percakapan adalah tarian dua arah. Dalam menari, kita tidak hanya belajar mengikuti irama, tapi juga memahami langkah pasangan kita. Mungkin mereka sedang berjuang. Mungkin mereka tidak memahami sarkasme. Mungkin mereka hanya butuh waktu.
Apapun itu, mari kita belajar untuk mendengarkan dengan hati, bukan hanya telinga.
Karena dari sanalah, kebijaksanaan sejati bermula.
Komentar
Posting Komentar